Tuesday, October 26, 2010

Rhein Nirmala

Namaku Rhein, saat itu aku berjalan menyusuri pinggiran kota, saat senja mulai menyingsing dan angin pun berkelebat di antara pepohonan yang berjajar. Berjalan terus tak menentukan arah kemana lajuku ini dan dimana aku akan berhenti. Meresapi semilir yang menggoda suasana sore itu, menyedihkan bagiku.

Namaku Rhein, yang melayangkan pikiran hanya pada satu nama, Mala. Ya hanya untuk Mala, Nirmala. Gadis yang sangat menyenangkan walau kadang merepotkan, tapi sungguh hanya aku yang bodoh di sini. Hanya sunyi yang kudengar, padahal aku sangat ingin mendengar keriangan gadis itu, ramai canda tawanya serta gurauan kecil darinya. Aku menghela nafas pelan. Berfikir betapa sia-sianya aku, waktu telah habis pada akhirnya, tak akan terulang meski begitu keras aku berfikir dan begitu khusyu aku berdoa.

Lama setelah pertengkaran itu, aku memutuskan untuk tidak ingin melihatnya  lagi, sama sekali tak ingin, memikirkan dia pun enggan. Sungguh, sangat sakit dan benar-benar nyeri. Mala yang kusayangi, bodohnya aku. Yang sebenarnya, tak ingin aku sedikitpun berpaling, jauh hanya sejengkal, ataupun membencimu sampai seperti saat itu. Bodohnya aku, hanya karena sekecil duri yang menusuk aku harus membayar lebih dengan rasa tak tertahankan ini.

Lama setelah pertengkaran itu, sampai detik ini, dan sampai nanti aku tak bisa melihatmu lagi, merasakan hadirmu pun tak bisa, hanya bisa meratapi sekeping sesal. Namun yang sekeping itulah yang sangat meyakitkan. Dan sekarang sangat merindukanmu, ingin sekali menggandeng jemarimu, sambil berlari menembus angin, merepih senja kala ini. Semu, hanya bayang yang menemani langkahku saat ini, bermain dengan angan maya dan berusaha keras menghadirkan dirimu di setiap sudutnya.

Mala, seperti saat itu dengan tertatih aku mengajarimu berlari, merasakan desiran yang belum pernah kau rasakan, melihat dunia yang belum pernah kau lihat. Karena keterbatasanmu, karena sakit yang melekat dalam dirimu. Namun kita bisa tertawa bersama, menari bersama, di bawah gerimis yang menyenangkan, dengan ribuan rintik hujan yang terdengar mengasikkan.

Namaku Rhein, Rhein Nirmala itulah nama kami, aku dan saudara kembarku, akulah Rhein dan saudariku Mala. Kau benar-benar pergi, lalu kenapa harus dirimu yang jauh pergi?? Karena sikap bodohku dan tingginya egoku, kenapa harus dirimu??

Butir kecil dari sudut mataku tak tertahankan lagi, bukan hanya sekali ini tetapi sejak rintik hujan yang kita cintai menjadi terasa begitu pilu, sejak aku tersadar detak lain dari diriku telah terhenti, sejak iringan doa mengantarkan kepulanganmu, dan sejak taburan bunga menyelimuti ragamu.

“Mala, maaf atas segala kesalahanku, terlelaplah dalam tenang dan damai di taman sana,” tertunduk aku dalam diam dan kuhentikan langkahku di hadapan saudariku yang setahun ini telah tiada.


_*Luph you my sistaaa*_

Sunday, October 3, 2010

Imagine


Membayangkan bermain di bawah rintik hujan
Berlari puas
Tertawa lepas
Seperti anak kecil
Bergurau dengan alam
Tanpa ada rasa mungkinkah bisa bersedih
Tajam menatap langit
Tenang mendengar hujan
Dengan segala rasa bahwa hanya aku yang dicinta 

Friday, October 1, 2010

What happened with me...


aduhai,,,
menelan ludah sendiri
aku melihatnya muram
entah sejak detik kapan dari sudut mana
rasaku menjuru, nelangsa melihatnya
aku melihatnya muram
beberapa saat yang lalu
ketika aku beranggapan, nafasnya mulai terbelenggu

aduhai,,,
kepada siapa harus mengadu
karna aku terlalu malu
tersipu menunduk bisu
dalam hayal yang makin tak menentu
sakit aku melihatnya seperti itu

Yaa Rabb,,,
rasa ini tak benar adanya
tak boleh menurut dikata
tak layak menyekap jiwa
hilang dalam langkah dan hanya bisa melihatnya


_terangakai di kala hujan berderai_