Sunday, February 27, 2011

When this heart feel so hurt

sesak dada ini
saking kecewa

panas hati ini
saking kecewa

sedih rasa ini
saking kecewa

malu diri ini
saking kecewa

marah batin ini
saking kecewa

kasihan jiwa ini
kesakitan begitu dalam...


'so hard to forgive you'

Monday, February 21, 2011

When Life in Love and Pray

Perlahan turun dari mobil yang berhenti tepat di depan rumahku, di sini aku yang berencana pengen ngasih kejutan tapi jadi aku yang dikejutkan. Masih terdiam dengan rasa nggak percaya melihat beberapa orang berdiri di halaman rumahku.
“Siapa, Nay?” tanya Aini yang sama-sama melihat 3 laki-laki yang berdiri di pinggiran pagar rumah mungil orang tuaku. Tanpa menjawab aku berjalan tenang diikuti Aini sama Lala.
“Assalamu’alaikum,” sapaku. Jelas aku kenal dengan mereka bertiga, hanya sedikit keheranan, selama 4 tahun nggak ketemu, nggak ada kontak sama sekali, dan tiba-tiba melihat mereka berdiri di hadapanku lagi.
“Wa’alaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatu,” jawab mereka serempak, sepertinya kaget juga melihatku. “Nayra!!” mas Ilham yang pertama nyeletuk namaku.
Aku tersenyum, masih sama mas Ilham yang dulu suka jail plus kocak abis badannya segitu-gitu aja. Di sampingnya ada mas Azka masih berpenampilan casual, terlihat lembut dan emmmhh tambah tinggi aja. Lalu mas Jaffar, ustadz pendiem yang super diem [hihihihiiii jadi inget ngadepin anak-anak juga cuma diem].
“Nayra udah gedhe ya sekarang?” ucap mas Azka menggoda. Dua bulan tinggal serumah sama dia 4 tahun yang lalu, ngeliat aku yang sekarang, pantes dia ngomong kayak gitu.
Aku menyeringai manja ngelirik dia, “Udah 4 tahun masak segitu-gitu aja...” kataku, terbayang aku yang masih duduk di bangku SMP. “Oh yaa, kenalin temen Nay, ini Aini” kataku sambil menggamit tangan Aini, “Yang ini Lala” menggamit Lala juga dengan tangan kiriku. “Mereka bertiga temen lama Nay,” ucapku pada Aini juga Lala dengan nada menyindir lalu melirik ketiga laki-laki itu.
“Salam kenal,” sahut mas Ilham, disambut senyum mas Jaffar, masih belum berubah, nggak banyak bicara, itulah dia. “Silakan masuk!!” mas Azka mempersilakan.
~ Loooh ~ batinku, “Siapa tuan rumahnya nih?” candaku. Mereka ketawa mendengar reaksiku, hehehe. “Hayuuuk masuk?” ajakku.
“Assalamu’alaikum” rumahku yang ku rindukan, udah setaun nggak pulang dan masih sama, tetap hangat.
Keluar dari arah dapur, wanita yang masih terlihat cantik dan penuh kasih kaget campur berbinar melihat kepulanganku yang tiba-tiba. “Gendhuk...!!!” teriaknya sambil menghampiriku, lalu kucium tangannya. “Pulang kok nggak bilang-bilang?”
“Bukan surprise lagi dong,” kataku sambil tersenyum. “Dadakan bu, mumpung libur, daripada bingung mau kemana, ya udah mending pulang aja, sekalian ngobatin kangen, pengen makan masakan ibu,” jelasku beralasan. “Tapi Nay bawa bala tentara ni bu, nggak pa-pa kan?”
Ibu mendekati Lala sama Aini, “Nggak pa-pa, justru ibu seneng, rumah tambah rame, Nayra pulang, mas Azka juga di sini, tambah lagi ntar sore Gita juga nyampe rumah.”
“Mba Gita juga pulang?” tanyaku, kaget, seminggu yang lalu waktu mampir ke rumah dia, mba Gita nggak bilang-bilang kalo mau balik.
“Mba Gita nggak bilang Nay, kalo dia mau pulang, tau gitu kan kita bisa bareng” kata si Lala. “ Nggak,” jawabku singkat.
“Ya udah masuk dulu!” ajak ibu, “Istirahat dulu, mandi dulu, nanti tinggal makan.” Lala, Aini langsung masuk, sebelum aku mengikuti mereka ibu berbisik, “Nay, kamar tamu baru diberesin,, jadi kamar kamu di pake nak Azka sama temen-temennya, kalo mau istirhat di kamar mbak mu dulu kalo nggak di kamar ibu, maaf ya.”
Aku tersenyum, “Nggak pa-pa bu, tenang aja! Yang penting udah nyampe rumah, Nay udah seneng udah tenang” kataku, “Oh iya, ayah dimana?” tanyaku, dari tadi belum ketemu ayah.
“Baru ke rumah Pak RT, bentar lagi juga pulang,” jelasnya. “Ya udah, sana masuk dulu.”
Aku menggangguk, lalu masuk. “La, Ni, tas nya bawa ke sini aja,” mereka menuruti, “Istirahat dulu aja, ini kamar mba Gita,” aku membukakan pintu untuk mereka.
“Kamar kamu dimana Nay?” tanya Lala, “Nggak pulang-pulang sih makanya makanya nggak dikasih kamar,” celetuknya lagi, diikuti tawa Aini.
“Dasar!” kataku gemes, “Kamarku dipake mas Azka sama yang laen, kamar tamu lagi dibenerin soalnya, makanya pake kamarku dulu.”
“By the way, mereka siapa?” kali ini Aini yang nanya.
“Her first love!!!” teriak  seseorang dari pintu kamar. Spontan kami bertiga menengok.
Ternyata Nadia, tau siapa yang ngomong, spontan juga bantal mendarat di muka gadis itu, adik sepupuku, yang sering  numpang molor di sini kalo aku pulang. Dia tinggal di sebelah, tapi makan, minum, mandi, nonton tv, dvd, di sini. Kamarku adalah markasnya. “Sini!” teriakku. Dia mendekat masih sambil terkikik.
“Her first love, you said????” Tanya Aini penasaran, ingin mengorek lebih dalam.
“Jangan dengerin!!” kataku gemes, cubitan mendarat di tangan Nadia, dia menjerit. Tapi masih lanjut dengan anggukan mantab sebagai jawaban. “Nadia!!!” aku manyun.
Yang laen ketawa, Nadia lalu berbisik di telingaku, “Dia datang ngelamar kamu.”
~ Bocah ini......!!!! ~ batinku. Nadia malah ketawa. “Liat tu muka nyampe merah!!” katanya. “Temen-temennya nggak dikenalin nih?” Nadia mengalihkan topik, dia yang buka dia juga yang nutup bahasan yang sempat menghebohkan itu.
“Iiiiihhh.... Kok udahan, nggak ada penjelasan??” kata Lala, “Jangan bikin penasaran dong!!!”
Nadia meringis, “Nggak usah dibahas, kasihan anak orang, hehehe,,,, Kenalin aku Nadia, sepupu Nayra” Nadia mengulurkan tangan memperkenalkan diri, disambut Lala lalu Aini. Aku Cuma diem, ~ ni anak ~ masih sebel sama Nadia ~ pasti bakalan ada wawancara khusus ni ntar malem, hadeeuuuh ~

# # #

“Ngelamun aja?” mas Azka ngagetin, “Kecewa kamarnya dipake?” tanyanya dengan nada kecewa, nggak enak.
“Eeemmmh,” ngerasa nggak enak juga. Aku tersenyum, “Nggak,” jawabku sambil menghela nafas. “Pake aja, nanti Nay beresin kamar tamu, nggak usah sungkan, mas Azka udah jadi bagian dari keluarga ini, jadi jangan ngerasa nggak enak gitu.”
Dia membalas dengan senyum juga, “Terus mikirin apa dong, siang-siang gini ngelamun?” godanya.
“Want to know aja!!!” balasku.  :P    “Lama udah nggak ketemu, nggak ada kabar, kemana aja?” rasa ingin tauku melambung lagi.
“Nggak kemana-mana, masih rutin di kampus, kadang juga mampir sebentar ngajar di pondok, belum sempat kemana-mana, ke sini aja disempet-sempetin mumpung temen-temen yang laen juga pengen silaturahim sama orang tua angkat yang ditinggalin 4 tahun yang lalu,” jelasnya dengan tenang.
“Uuuummmh, sekarang jadi ustadz sibuk ya???” gantian aku yang menggoda.
Dia ketawa aja, “Sibuk nyari bekal, siapa tau ada gunanya nanti. Maaf kalo nggak pernah ngasih kabar, takutnya cuman ganggu, nggak jadi belajar, cuma dengerin cerita yang ngebosenin.”
Masih sama, selalu bijak, berusaha tidak menyakiti dengan setiap katanya, tapi juga mempertahankan keringanan bahasanya, mengerti dengan siapa dia bicara. Kali ini bukan dengan anak ingusan, yang hanya tau ingin dan tak ingin, dan aku juga harus belajar mengerti atas apa yang terjadi selama ini. Dia yang mempertahankan apa yang patut ia jaga, karena sekarang aku mengerti, aku ini, adik bukan, saudara bukan, tapi aku adalah wanita. Itu yang membuat semua mengagumi. “Asal semua sehat dan baik-baik aja, aku seneng,’’ ucapku.
“Semua baik-baik aja,” katanya lalu menghela nafas pelan, seperti ada kelegaan. “Mas pikir, nggak bakalan ketemu sama Nay di sini, kata Ibu, Nay bisa pulang kalo lebaran aja.”
“Berarti kejutan Nay berhasil dong?!!” kataku bangga. Mas Azka tersenyum dan mengangguk. “Sama sekali nggak ada rencana mau pulang, tapi ya Alhamdulillah ternyata malah kesampean pulang.”
“Berapa lama liburnya?” tanya mas Azka.
“Satu minggu, lumayan lah, bisa kumpul sama Ibu sama Ayah,” kataku senang.
“Ehem... Ehem... Berdua-duaan aja nih,” lagi-lagi Nadia. “Kata ustadz, janganlah kamu berdua-duaan seperti ini karna yang ketiganya adalah setan,” mulai lagi deh si tengil ini.
“Iya... kamu yang ketiganya,” cibirku tak mau kalah. Mas Azka ketawa dengerinnya.
“Heeemhh, si eneng nggak mau diganggu ni ye, ati-ati pak ustadz!!” katanya sambil ngelirik mas Azka. “Aauuuuww!!” kanan-kiri dapet ni hari ini, cubitan dariku. “Dipanggil Ibu tuh!!”

# # #

“Siapa?” tanya mba Nia pada mba Gita
“Nggak tau, belum pernah liat, ketemu juga baru sekarang.”
“Berarti mba Gita belum kenal dong sama mereka?” tanya Lala. “Kata Nadia, cinta pertamanya Nayra.”
“HA??” mba Gita sama mba Nia kaget. “Nay nggak pernah cerita,” kata mba Nia. “Iya, dia nggak pernah cerita. Nadia ngarang kali, mereka kan dari dulu emang biasa kayak gitu, becanda mulu,” jelas mba Gita.
“Iya kali ya,” pikir Aini.
“Iya, lagian, Ayah sama Ibu keliatannya juga kenal baik sama mas Azka itu,” analisa mba Nia.
“Kalo itu sih nggak jadi masalah, justru kalo udah kenal baik gitu, restunya makin kuat, hehehe....” pikir Lala.
“Udah, kenapa jadi ngomongin Nayra sih....”
“Masih juga dibahas???” gerutuku yang sebagian dengerin pembicaraan mereka.
“Abis mereka mancing-mancing sih Nay, dikira mba tau,” kata mba Gita.
Aku senyum aja, “Mba Gita nggak kenal sama mereka,” kataku. “Mereka dulu pernah ngajar santri di sini, cuman bentar, belum pernah ketemu mba Gita, sudah terjawabkah???” Mereka diam, bingung kali mau nanya apa, aku berharapnya nggak ada yang nanya macem-macem. “Kalo udah, mari kita bobo, besok katanya ada pengajian di Masjid depan, night!” aku menutup duluan.

# # #

~ Kangen yang seperti ini ~ aku membatin, semuanya sibuk, sore yang cerah, anginnya lembut bersemilir, pohon-pohon yang tegak bergoyang pelan, hiruk pikuk para santri yang selalu terlihat senang tiap ada event seperti ini, pengajian akbar kali ini sepertinya dipersiapkan sangat matang. Aku tersenyum sendiri, melihat santri-santri kecil berbaju putih, seperti biasa sibuk dengan dunia mereka, berlarian, bersenda gurau, bahagia.
“Mba Nayra!!!” teriakan keras salah satu dari mereka, spontan banyak mengalihkan pandangan mereka padaku, tapi untung juga teriakan itu mengundang segerombol santri kecil berlari menghampiriku.
“Mba Nayra kapan pulang?” tanya Laili yang tadi teriak menyebut namaku, belum sempet jawab, “Mba Nayra, hari ini ada pengajian,” kata Lukman, tentu aku tau, disahut, Pipit, “Iya, ada pentasnya juga looo,” “Nanti kita nyanyi di depan,” kali ini Lia.
“Oya?” tanyaku, hanya itu yang sempat keluar dari mulut, pasti masih ada lanjutan dari yang lain. Bener aja, “Iya, mas Ilham yang ngajarin nyanyi,” kata Hendra. “Ustadz Jaffar yang main piano (keyboard sebenernya).”
“Nanti Mia ikut nyanyi,” sahut gadis kecil berjilbab putih itu, “Vita juga, nanti ikut nyanyi,” Vita berlesung pipit juga tak mau kalah.
Aku senyum dengerinnya, senang sekali, “Nanti mba Nayra pasti liat kalian, jadi nyanyinya harus bagus ya!!” ucapku bangga. Udah lama nggak bercengkerama dengan mereka.
“Yeeeee.......!!!!” teriak mereka, sambil berlarian meninggalkanku begitu aja.
“Nggak capek ngajar mereka?” tanya Aini sambil ngeliat anak-anak itu berkeliaran.
“Capek iya, tapi bahagia, intinya cuma itu,” jawabku santai.
Aku masuk ke serambi masjid, ditemani Aini sama Lala, di sana udah ada temen-temen yang laen. Buru-buru menghampiri mereka, melepas kangen juga, akhirnya kesampean juga ketemu mereka di acara seperti ini.
“Mari silakan,” terdengar suara sopan mas Azka, ternyata ada tamu undangan yang udah datang, sepertinya sangat disegani, tapi juga sangat ramah, mas Azka memperkenalkan dengan remaja masjid yang ada di luar, lalu menghampiri kami yang di serambi. Satu per satu tak ada yang ketinggalan. Termasuk aku, kikuk waktu Beliau memperhatikanku meski cuma sebentar, tersenyum ramah dan berlalu masuk ke masjid diikuti mas Azka.
Ternyata yang bersama mas Azka itu Kiai yang mengisi acara pengajian, semua lancar, dan suasananya begitu menyenangkan. Jam 10 lebih lah, pengajian selesai.

# # #

“Ayah ada tamu,” kata mba Gita. Ayah bergegas merapikan diri lalu keluar menyambut tamu itu. Ibu dan aku menyiapkan sajian dibantu mba Gita. Dia juga yang mengantar ke ruang tamu. Setelah beres Ibu ke depan juga, aku masuk kamar, di sana udah ada Nadia, Lala, Aini sama mba Nia.
“Mana Gita?” tanya mba Nia.
“Masih di depan,” kataku.
“Siapa tamunya Nay?” tanya Nadia.
Aku menggeleng, “Nggak tau, tamunya ayah sih kata mba Gita.”
Udah 15 menit, “mba Gita mana sih?” kata Lala. “Uuuummmhh katanya dia, punya usulan tempat yang pasti nggak bakalan mengecewakan buat kita refreshing.”
“Ciiieeee.... udah nggak sabar nih kayaknya,” godaku.
“Jelaslah, aku juga!!!” ucap Aini nggak mau kalah.
“Gimana kalo...” kata-kata Nadia terpotong gara-gara mba Gita yang dateng grabagh-grubugh.
Kami yang di dalem keheranan, “Kenapa Git?” tanya mba Nia.
“Tamunya.... tamunya....” kata-kata mba Gita nggak jelas, seperti orang mau kehabisan nafas.
“Waduuuuuhhh, santai mba Gita...!!!” gurau si Nadia.
“Ah kamu Nad!!” perlahan mba Gita menghela nafas. “Tamunya.... Kiai yang semalem ngisi acara pengajian, dia dateng ngelamar...uhukk...uhukk...” mba Gita masih tersengal-sengal.
“HA??” spontan kami kaget.
“Iya, Beliau dateng bermaksud untuk ngelamar...”
“Kamu dilamar Git?” tanya mba Nia nggak sabar.
“Dengerin dulu!!!” teriak mba Gita gemes. “Beliau datang untuk ngelamar Nayra,” ucapnya dengan jelas.
“APA??!!”  kami yang denger kaget, apalagi aku, kaku membeku. Nadia sama Lala sampe terjingkat.
“Ngelamar Nayra??” tanya Aini masih nggak percaya. Mba Gita mengangguk mantab.
“Pak Kiai ngelamarin buat siapa?” mba Nia tiba-tiba nanya, dan yang pasti yang laen juga pengen tau.
“Mas Azka,” mba Gita menyebut nama lelaki itu.

# # #

Tuesday, February 1, 2011

Cinta Putih...


Bayu bersemilir
Puspa pun mewangi karena dikau

Bulan senyum ayu
Surya keemasan karna dikau

Samudra menggelegar
Gelombang berkejar karna dikau

Simfoni yang terindah terciptalah sudah karna dikau

Dikau penyejuk rasa
Bila senyummu mengulum

Dikau hangatkan cinta bila sentuhan berpadu
Dikau getarkan jiwa dalam membisikkan cumbu rayu
Syahdu dalam peraduan hingga akhir mimpi senyum

Cinta putih murni balas kasih suci untuk dikau
Dikau teruntuk daku, daku diciptakan untuk dikau

Tuhan bimbinglah kami hidup berdua hingga akhir nanti
Luhur ciptaanmu Tuhan kekal cinta kasih murni


[cintaputihlirikwhichilikelaah]